Jumat, 03 Mei 2013

Journey #1



Aku menepuk dadaku lagi, entah sudah berapa kali aku mencoba untuk mengusir rasa ini. Tapi rasa gugup ini masih belum hilang. Aku melirik jam tanganku lagi, 10 menit lagi lombanya akan dimulai. Mulutku terus saja melafal do’a, meminta ketenangan. “Eh, kok mata aku kedutan gini ya?” Aku berujar sambil memegangi pinggir mata kiriku. Laras yang duduk di sebelahku langsung menoleh dan memerhatikanku.
“Sebelah mana?” tanyanya. Aku menunjuk mata kiriku, “Yang ini,” jawabku datar. Laras mengangkat kedua alisnya. “Hmm.. Itu artinya Odi mau nangis,” katanya seperti mengingatkan. Deg! Rasa nervous yang baru beberapa menit lalu hilang mendadak muncul lagi. Apakah itu tanda-tanda dari-Mu, ya Allah? Aku hanya menghela napas, pasrah.
*
          Aku menatap miris papan score di samping kananku. Teamku mendapat peringkat 3. Ya, seharusnya aku bersyukur akan hal itu. Tetapi, mungkin akan lebih baik apabila aku tidak menjawab pertanyaan terakhir yang diajukan juri itu. Mungkin saja teamku akan mendapat peringkat 1. Catat, peringkat 1! Tapi aku terlalu ngotot untuk menjawabnya. Sialnya, terselip ketidak yakinan dalam jawabanku itu. Dan, beginilah akhirnya. Benar kata Laras, aku akan menangis. Lihat saja, sungai mataku mulai basah lagi.
*
          “Odi, aku ke dalem dulu ya, mau ambil buku tugas,” Ujar Laras sambil berlari kecil masuk ke dalam kelas. Aku duduk di kursi depan kelas sendirian. Aku bahkan melamun  karena saking tenangnya keadaan sekitar.
“Eh, Juara Kimia!” Alisku berkerut, dan segera aku menoleh ke arah pintu kelas. Bara berdiri disana, berpegang pada suatu gagang pintu. Aku hanya mengangkat kedua alisku, sambil memberi isyarat -apa?-. Bara malah mengambil tempat di sebelahku. Aku kembali menatap lurus ke depan. Melamun lagi.
“Eh, Juara Kimia,” Aku diam.
“Juara Kimia!” Aku memutar mata. Meliriknya dengan garang.
“Eh, apa’an sih, Bar? Nyindir ya? Aku tuh baru peringkat 3, dan itu sama aja belum jadi Juara,” Aku merengut. Membiarkan pikiran ini memenuhi otakku. Ya, pikiran untuk menghabisi Bara kalau-kalau dia mulai menyindirku lagi.
“Ih, ngga nyindir kok. Segitu juga udah hebat lagi,” Ujarnya acuh. Aku tambah merengut.
“Mau ngga?” Aku menunjukkan tanganku yang sudah terkepal.
“Eh, iya iya iya.. Emang masalahnya dimana sih?” Bara bertanya. Aku mulai melemaskan diriku lagi.
“Masalahnya, sebelum aku tanding mata aku yang sebelah kiri itu kedutan. Terus Laras bilang, kalo aku bakal nangis. Nah, disitu letak permasalahannya. Aku takut,” Aku langsung berujar panjang dengan polosnya, walau aku tahu jawabanku memang tidak sesuai dengan apa yang ditanyakan Bara.
Mungkin maksud pertanyaan Bara adalah, Apa-masalahnya-kalo-aku-mendapat peringkat- ketiga-?. Aku menghela napas, menatap lurus ke depan tapi entah apa yang bisa kulihat. Akhirnya aku menoleh ke arahnya lagi. Tapi Bara justru sedang berpikir.
“Harusnya ga boleh takut. Ga boleh nyerah cuma karena pernyataan kalo kamu bakal nangis. Lagian, nangis bukan berarti kalah kan? Harus semangat dan yakin kalo kamu pasti bisa. Menang itu punya Allah kok, Allah pasti milih siapa yang berhak jadi pemenang sesungguhnya,” Bara berujar tanpa jeda. Membuat aku terdiam mendengarnya. Menang itu punya Allah ya, iya juga sih. Hatiku bergumam. Sekali lagi aku melirik ke arahnya. Yah, dia memang seorang Bara yang jahil yang tapi entah kenapa Bijak juga selalu mengikutinya.
*
“Menang itu punya Allah, iya menang itu punya Allah. Aku harus berusaha dan yakin,” Aku bergumam. Sudah satu tahun berlalu sejak kekalahanku. Emm, tidak, bukan kalah sebenarnya. Peringkat 3. Dan sekarang, aku kembali untuk memenangkan perlombaan ini. Aku menatap yakin ke arah Juri itu. Pertanyaan terakhir akan menentukan team siapa yang akan merasakan memegang piala yang tingginya sebesar orang itu.
Juri itu terlihat memegang mikrofon, menepuk-nepuknya pelan, dan mendekatkan mulutnya ke arah mikrofon. Juri itu menyapu pandangan sebentar ke arah peserta, yang pasti menaruh harapan besar pada pertanyaan terakhir itu.
“Gas, hasil pembakaran tidak sempurna, yang..”
Teeeeet!! Juri menghentikan bacanya, karena tanganku refleks menekan bel berwarna biru itu. Yakin Odi, kamu harus yakin.
“Gas Karbonmonoksida,”
*
“Odila,” seseorang memanggilku. Aku celingukan mencari sumber suara. Ketika aku menoleh ke samping, kulihat Bara yang memandangku datar. Aku mengangkat kedua alisku. Tiba-tiba ia menjulurkan tangannya, “Kalo juara belum dikasih selamat itu kayanya kurang pas ya,” ujarnya dengan mimik muka ‘sok polos’nya. Aku menatapnya aneh lalu tersenyum, menyambut tangannya sambil berujar Terimakasih.
“Giliran juara pertama aja, senyumnya lebar banget,” komentarnya. Aku meringis sebal, meliriknya.
“Ih, sirik deh,” semburku. “Ngg.. Bar, nasehat tahun lalu, makasih ya,” aku menoleh ke arahnya. Dia juga ikutan menoleh.
“Nasehat Bara tuh bener, aku harus semangat. Dan, soal menang itu, emang beneran punya Allah. Kita harus berusaha keras supaya Allah juga ngasih kemenangan ke kita itu ikhlas, ridho, iya kan?” ketika aku meliriknya, dia malah menatapku aneh lalu beberapa detik kemudian dia tertawa, terbahak. Alisku berkerut, lalu meringis tidak mengerti.
“Oh ya, soal kedutan itu emang beneran kenyataan lho,” lanjutku. Mukaku seperti mengingatkan. “Sebelum tanding tadi mata aku kedutan lagi di kiri.. dan pada akhirnya aku kembali nangis,”aku menatap kosong, mengingat kejadian tadi.
“Iya nangis, tapi karena beneran seneng kan?” Ujarnya meledek. Aku hanya nyengir menanggapinya. Tiba-tiba pintu kelas terbuka. Ternyata Vino yang keluar. Melihat sekilas ke arah kami. Lalu matanya berpindah ke Bara.
“Eh Bar, kantin yuk!” Bara bangkit tanpa pamit dulu padaku. Seperti hanya ada dia seorang di bangku ini. Dasar. Ah, aku saja yang aneh, kenapa aku berharap betul si ‘Tampang Miracle’ bertingkah seperti itu. Lagipula Bara memang tidak begitu dekat denganku. Hanya karena lomba itu saja dia sering ngobrol denganku. Aku bangkit lalu berjalan mendekati pintu, hendak masuk ke kelas.
“Kayanya udah ga bertepuk sebelah tangan lagi nih, hahaha,”
Aku langsung menoleh ke arah mereka berdua yang sedang berjalan menjauh. Kulihat Vino sedang tertawa, menggoda Bara disebelahnya. Aku merasa aneh. Apa mungkin? Oh my..